Kabar Ngetren/Jakarta – Bicara tentang pendidikan di Indonesia seolah tiada habisnya, dengan akar permasalahan yang sulit ditemukan. Pendidikan merupakan fondasi utama bagi kemajuan negara. Negara yang besar akan mengutamakan pendidikan, karena melalui pendidikan, kemiskinan dapat dihapuskan dan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Namun, proses pengembangan pendidikan di Indonesia masih penuh dengan tantangan di setiap tahapannya. Permasalahan ini hanya dapat diatasi dengan partisipasi semua pemangku kepentingan, tanpa ego sektoral.
Dalam tulisan Prof. Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi RI di sebuah harian nasional tentang ‘Kebesaran Guru Besar’, beliau menekankan pentingnya peran profesor atau guru besar. Guru besar di Indonesia, yang merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi dosen, diangkat oleh negara untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun, seringnya perubahan peraturan menghambat upaya memperbanyak jumlah guru besar berkualitas.
Jumlah profesor di Indonesia masih sangat sedikit. Dari sekitar 300.000 dosen di 4.000 perguruan tinggi, kurang dari 6.000 yang memiliki jabatan guru besar. Idealnya, perguruan tinggi di Indonesia memiliki rasio profesor sebanyak 20% dari jumlah dosen, namun ini belum tercapai. Proses pengajuan jabatan guru besar yang kompleks dan birokrasi yang tidak mendukung menjadi hambatan utama.
Darurat kekurangan tenaga pendidik di semua jenjang pendidikan sudah menjadi rahasia umum. Per September 2023, pejabat Kemendikbudristek menyebutkan bahwa Indonesia kekurangan 1,3 juta guru, karena banyaknya guru yang memasuki usia pensiun. Selain itu, profesi guru kurang diminati oleh generasi muda, yang semakin memperburuk situasi.
Kesenjangan jumlah dosen dan mahasiswa juga menjadi masalah di perguruan tinggi. Dengan jumlah dosen yang tidak bertambah signifikan dan jumlah mahasiswa yang terus meningkat, kualitas pendidikan terancam. Larangan mengangkat dosen tetap non-ASN di perguruan tinggi negeri menambah kebingungan dan masalah di kalangan akademisi.
Selain kekurangan tenaga pendidik, kurikulum pendidikan yang terus berubah juga menimbulkan masalah bagi guru dan murid. Sejak 2004, kurikulum telah diubah empat kali hingga Kurikulum Merdeka Belajar pada 2020, namun belum responsif terhadap kebutuhan era digital. Sosialisasi tentang Industri 4.0 hingga artificial intelligence (AI) sangat minim, menyebabkan anak dan remaja kesulitan menentukan minat dan membangun kompetensi.
Digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan menghadirkan tantangan baru bagi kegiatan belajar-mengajar. Namun, kompetensi digital para guru masih minim. Pada Mei 2023, data Kemendikbud menunjukkan hanya 40% guru yang melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sementara 60% lainnya masih gagap teknologi. Ini menyebabkan rendahnya literasi digital di kalangan anak dan remaja.
Pemerintah perlu segera menyediakan akses untuk mendalami keterampilan digital sejak dini. Dengan jumlah pelajar Indonesia yang mencapai 53,14 juta siswa, pemerintah harus sigap menyediakan pelatihan digital. Indonesia membutuhkan jutaan pekerja dengan keterampilan digital untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital.
Masalah-masalah ini menunjukkan betapa pentingnya perhatian dan kebijakan yang solutif dari semua pihak. Jika hanya fokus pada perubahan peraturan tanpa mengatasi akar permasalahan, tujuan nasional pendidikan akan sulit tercapai. Indonesia bisa menghadapi krisis kekurangan guru, dosen, dan guru besar dalam jangka waktu lama jika masalah ini tidak segera diatasi.
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Unuversitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)