Kabar Ngetren/Banyumas – Tahlilan merupakan salah satu tradisi keislaman yang banyak diamalkan oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini tidak hanya menjadi wujud doa bersama untuk mengenang dan mendoakan orang tua yang telah meninggal dunia, tetapi juga menjadi sarana mempererat silaturahmi antar keluarga dan masyarakat sekitar.
Hal ini disampaikan oleh Adinda Prameswari Kusumadhati, cucu dari almarhumah Hj. Mudyayanah, dalam acara Yasin Tahlil Malam Ke-40, Senin, (3/2).
Tahlilan biasanya dilaksanakan dalam beberapa tahapan waktu, yaitu, hari pertama hingga hari ke-7 setelah wafat (sedino, rong dino, telung dino, mitung dino, dan seterusnya). Hari ke-40 (matangpuluh) sebagai penanda berakhirnya masa berkabung keluarga. Hari ke-100 (nyatus) untuk mengenang dan mendoakan almarhum/almarhumah. Hari ke-1000 (nyewu) sebagai bentuk penghormatan terakhir. Tahlilan mendhak pisan dan mendhak pindho, yakni peringatan satu tahun dan dua tahun setelah kematian.
Menurut Adinda, tahlilan tidak hanya berisi doa, tetapi juga dzikir, pembacaan sholawat, serta ayat suci Al-Qur’an, seperti Surah Yasin dan Al-Baqarah.
“Selama acara tahlilan, kami membaca ayat Al-Qur’an, kalimat toyyibah, serta doa-doa untuk memohon ampun dan rahmat Allah SWT bagi almarhumah,” ujar Adinda.
Selain menjadi bagian dari ibadah, tahlilan juga memperkuat silaturahmi di antara keluarga dan masyarakat. Setiap pelaksanaan tahlilan, keluarga besar almarhum/almarhumah berkumpul bersama tetangga untuk mendoakan dan mengenang orang yang telah berpulang.
“Malam ini, seluruh keluarga dan tetangga berkumpul untuk melaksanakan Yasin Tahlil ke-40, khusus untuk mengenang dan mendoakan almarhumah Mbah Uti Hj. Mudyayanah Binti Djaelani dan almarhum Mbah Kakung H. Soebari Bin Imam Muchtar,” tutup Adinda.
Melalui tradisi tahlilan, diharapkan keluarga yang ditinggalkan mendapatkan ketenangan dan keberkahan, serta semakin mempererat hubungan antaranggota keluarga dan masyarakat.