News

Tokoh Agama dan Pemilu Damai

31
×

Tokoh Agama dan Pemilu Damai

Sebarkan artikel ini
Oleh Yanuardi Syukur
Tokoh agama adalah elite di dalam masyarakat kita. Dalam ranah keagamaan, masyarakat percaya pada peran tokoh agama, misalnya dalam memimpin shalat, penyelenggaraan jenazah, hingga pilihan terhadap calon pemimpin di tingkat lokal atau nasional. Singkatnya, tokoh agama dihormati dan didengarkan, at least oleh pengikutnya, sebab posisi agama masih bersifat sentral, bukan periferi di Indonesia. 
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 14 Februari 2024 yang akan datang, peran tokoh agama signifikan untuk menjaga agar suksesi nasional tersebut berjalan dengan lancar. Ketegangan di media sosial sesungguhnya dapat diminimalisir dengan kesadaran bahwa perbedaan itu biasa, dan jangan sampai perbedaan merusak silaturahmi. 
Harapan para tokoh agama dalam pemilu, setidaknya dapat dijelaskan oleh judul Silaturahim Nasional Ormas Islam dan Majelis-Majelis Agama di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta (16/1/2024) dengan judul “mengawal Pemilu damai, jujur, adil dan bermartabat.” 
Majelis Ulama Indonesia sebagai host kegiatan tersebut sebelumnya juga telah mengeluarkan arahan (taujihat) demi melahirkan Pemilu yang ideal. Dua di antaranya adalah sebagai berikut. 
Pertama, MUl menyerukan semua pihak agar senantiasa menjaga kesatuan dan persatuan dalam Pemilu 2024 dengan mengutamakan kepentingan bersama sebagai bangsa, menghindari politik golongan dengan tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah yang didasari pelaksanaan nilai-nilai agama.
Kedua, MUI menyerukan kepada media massa, media elektronik, dan media online untuk bersikap netral dan pro aktif mendidik masyarakat agar tidak terpengaruh oleh berita bohong (hoax), dan ujaran kebencian (hate speech), sehingga mampu menciptakan pemilih yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab dalam menghadapi informasi selama proses pelaksanaan Pemilu 2024.
Artinya, para tokoh agama berharap agar hajatan nasional tersebut tidak membawa ‘perang’, dusta, ketidakadilan dan pelanggaran terhadap martabat. Seruan moral tersebut rasanya penting untuk diaplikasikan, walaupun ada yang bilang itu bukan hal mudah di tengah berbagai hasrat kuasa yang sangat mungkin melegalkan atau menerabas segala cara. 
Amatan saya dari berbagai obrolan di media sosial dan obrolan warung kopi, masyarakat berharap pemilu berjalan dengan lancar. Bagi kalangan Muslim, siapa pemimpin nanti, sesungguhnya telah tercatat dalam lauhil mahfudz, ‘kitab yang terjaga’, akan tetapi ikhtiar untuk memilih pemimpin ideal tetap harus dilakukan. 
Lantas, yang mana itu ‘pemimpin ideal’? Bagi masyarakat yang berpikir idealis-edukatif, pemimpin yang berpendidikan adalah utama. Mereka berharap Indonesia dipimpin oleh sosok yang relatif ‘bersih’, visioner, punya track record baik, serta syukur-syukur bisa setara dengan pemimpin lainnya di tingkat dunia dan dekat dengan mayoritas pemilih berbasis religius di Indonesia. 
Bagi yang berpikir merakyat-taat hukum, mereka akan pilih pemimpin yang dianggap representasi wong cilik, di-back up oleh kuasa partai dengan jejaring rakyat banyak, serta berwakilkan orang yang tahu hukum. Sebab, merakyat saja tidak cukup, butuh ketaatan pada hukum. 
Sedangkan, masyarakat yang berharap agar Indonesia dipimpin oleh sosok kuat, berkarakter, dan tidak diragukan nasionalisme-nya untuk bangsa, akan memilih calon yang dekat dengan itu. Kolaborasi tua-muda, keras-selow, serta penguasa masa lalu-masa kini, adalah pilihan untuk mereka. Prinsipnya, “saya pilih yang kemungkinan besar menang.” Kata ‘kemungkinan besar’ mengandung arti bahwa ada unsur ‘besar’ yakni power yang mendukung itu. 
Terlepas dari pilihan masyarakat, tokoh agama secara publik adalah ‘kompas moral’ bagi pemilih agar tetap bijaksana dalam memilih pemimpin. Siapapun pemimpinnya, tiga pasang tersebut telah diverifikasi dan layak untuk jadi pemimpin. Beda pilihan itu biasa. Sebaliknya, perbedaan haruslah dilihat sebagai kekuatan untuk bersinergi. Ibaratnya, kita akan dapat banyak insights jika bertemu orang yang berbeda. 
Sebagai cultural broker atau ‘perantara kebudayaan’, tokoh agama adalah patron masyarakat untuk memilih mana yang terbaik. Walaupun tiap tokoh tidak sama pilihannya, akan tetapi secara publik mereka tetap perlu menyerukan secara bijaksana terkait pentingnya kebesaran hati menerima siapapun yang terpilih dari tiga paslon tersebut.
 
Kita berharap pemilu nanti berjalan dengan lancar, paling tidak seperti harapan ormas Islam dan majelis-majelis agama untuk menciptakan pemilu yang damai, jujur, adil dan bermartabat. Jika capaian itu agak sulit seratus persen, setidaknya paling kurangnya harus diperjuangkan agar bisa mencapai idealitas tersebut. 
 
Depok, 15 Jan 2024
Kabar Ngetren