Kabar Ngetren/Jakarta – Sebuah isu mengejutkan mencuat ketika mantan Wamenkumham, Denny Indrayana, mengklaim mendapatkan bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilu 2024 yang akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Informasi ini tersebar melalui keterangan tertulis dari Denny yang juga diunggah di akun Instagram pribadinya, @dennyindrayana99.
“Informasi tersebut menyatakan komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting,” tulis Denny pada Minggu (28/5/2023).
Namun, Juru Bicara MK, Fajar Laksono, tidak terlalu mempermasalahkan pernyataan Denny. Menurut Fajar, yang pasti hingga saat ini hanya penyerahan kesimpulan yang akan dilakukan pada tanggal 31 Mei mendatang.
“Yang pasti, tanggal 31 Mei mendatang baru penyerahan kesimpulan para pihak,” ujar Fajar pada Ahad (28/5/2023), tanpa memberikan rincian mengenai kabar dan dugaan yang beredar.
Fajar menjelaskan bahwa pembahasan perkara dan pengambilan keputusan oleh majelis hakim baru akan dijadwalkan pada tahap pengucapan putusan. Namun, dia mengaku belum mengetahui waktu pastinya.
Isu bocoran putusan ini menuai kekhawatiran dari berbagai pihak, dengan banyak yang berpendapat bahwa jika benar informasi tersebut, Indonesia akan kembali terperosok ke era Orde Baru.
Sebab, Pemilu dengan sistem proporsional tertutup akan memberikan keleluasaan kepada partai politik untuk memilih kader mereka yang akan menduduki kursi sebagai anggota dewan.
Beberapa kelemahan yang muncul dari sistem pemilu proporsional tertutup adalah:
- Tidak ada peran pemilih dalam menentukan kandidat caleg dari partai politik.
- Kurang responsif terhadap perubahan yang cepat.
- Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat setelah pemilu.
- Potensi munculnya oligarki di internal partai politik.
- Meningkatnya potensi politik uang dalam jual-beli nomor urut di internal partai.
Namun, banyak publik yang menyarankan agar pemilu, baik tahun depan maupun di masa depan, tetap menggunakan sistem yang ada saat ini.
Hanya perlu adanya perubahan terkait mekanisme pemilihan kader partai yang maju sebagai Calon Anggota Dewan, serta peran yang ditingkatkan bagi KPU dan Bawaslu sebagai pengawas dalam sistem proporsional terbuka.
Masyarakat berpendapat bahwa Bawaslu harus lebih tegas dan independen dalam menangani kasus kecurangan oleh Calon Anggota Dewan yang melakukan serangan fajar menjelang hari pemilihan.
Sementara bagi KPU, diharapkan aturan terkait partisipasi pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi menjadi lebih ketat, sehingga mereka dilarang maju sebagai wakil rakyat.
Meskipun putusan MK terkait uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih belum dibuat, munculnya isu bocoran putusan yang akan ditetapkan oleh MK telah menimbulkan pandangan bahwa MK terlibat dalam politik praktis, dan masyarakat pun banyak mengungkapkan sentimen negatif terhadap MK dan Presiden Jokowi, dengan mempertanyakan kemungkinan adanya ikatan antara Ketua Majelis Hakim di MK dengan Presiden Jokowi.
Dengan adanya perdebatan dan kekhawatiran yang muncul terkait pemilu mendatang, perlu dilakukan diskusi lebih lanjut mengenai sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia, dengan memperhatikan kepentingan pemilih dan menjaga integritas demokrasi. (Maulana Yusuf)