Kabar Ngetren/Jakarta – Ketua MPR RI ke-16, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, serta Ketua Umum Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Api Beladiri Indonesia (PERIKHSA), Bambang Soesatyo, yang juga menjabat sebagai dosen tetap pascasarjana di beberapa universitas ternama, termasuk Universitas Borobudur dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN), baru-baru ini menjadi pembimbing disertasi Komisaris Polisi (Kompol) Agusetiawan. Kompol Agusetiawan, yang bertugas di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Reserse Lemdiklat Polri, mengangkat penelitian mengenai rekonstruksi penegakan hukum pidana dalam pemidanaan penyalahgunaan kepemilikan dan penggunaan senjata api.
Dalam penelitiannya, Kompol Agusetiawan menyoroti perlunya pembaharuan aturan kepemilikan senjata api, mengingat Undang-Undang Darurat RI No.12/1951 yang mengatur hal tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. “Regulasi ini perlu diperbarui, khususnya terkait kepemilikan, penggunaan, hingga penegakan hukumnya,” ujar Bambang Soesatyo, yang akrab disapa Bamsoet, setelah memberikan bimbingan kepada Kompol Agusetiawan di Jakarta, Minggu, (11/8).
Sebagai mantan Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, Bamsoet menjelaskan bahwa meskipun Peraturan Kepolisian Nomor 1 tahun 2022 sudah mengatur tentang perizinan senjata api untuk olahraga, beladiri, serta tugas kepolisian, aspek teknis penggunaan senjata api bela diri belum diatur secara rinci. “Penelitian ini juga menekankan pentingnya pengisian magasin senjata api bela diri dengan satu atau dua peluru hampa, sehingga tembakan peringatan ke udara tidak membahayakan masyarakat,” jelasnya.
Sebagai Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia, Bamsoet menegaskan pentingnya perubahan Undang-Undang Darurat RI No.12/1951 untuk mencakup ketentuan yang lebih spesifik tentang hak dan kewajiban pemilik senjata api. Ini termasuk tata cara penggunaan serta mekanisme penegakan etika dan pengawasan terhadap pemilik izin khusus senjata api bela diri.
Lebih lanjut, Bamsoet menjelaskan bahwa penggunaan senjata api oleh warga sipil untuk membela diri dibenarkan dalam hukum hanya dalam keadaan tertentu seperti bela paksa (noodweer), bela paksa berlebih (noodweer excess), atau keadaan darurat (overmacht) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, ketentuan teknis mengenai kapan dan bagaimana senjata api tersebut dapat digunakan, seperti pengokangan, pengarahan, atau penembakan peringatan, masih belum ada, yang seringkali menimbulkan kerancuan dan multitafsir.
“Dengan adanya ketentuan yang lebih jelas dan rinci dalam regulasi baru, diharapkan akan mengurangi kerancuan serta mencegah salah tafsir, baik dari pemilik IKHSA maupun pihak Kepolisian. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Darurat RI No.12/1951 sangat diperlukan,” tutup Bamsoet.
Melalui bimbingan disertasi ini, Bamsoet tidak hanya berkontribusi pada pengembangan akademis tetapi juga pada upaya reformasi hukum yang lebih relevan dan responsif terhadap dinamika masyarakat.