Kabar Ngetren/Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Bambang Soesatyo, menyoroti masalah serius yang dihadapi industri manufaktur dalam negeri akibat ego sektoral yang masih mengemuka di kalangan pembuat kebijakan. Menurutnya, kondisi ini bisa menjadi “perangkap” yang mematikan industri manufaktur dan menghambat penyerapan tenaga kerja. Bambang mendesak para menteri ekonomi di Kabinet Merah Putih untuk segera mengakhiri ego sektoral dengan merumuskan kebijakan industri yang lebih komprehensif dan berpihak pada pertumbuhan sektor manufaktur.
“Contoh konkret ego sektoral terlihat pada kebijakan tata-niaga ekspor-impor yang tidak mendukung penguatan industri dalam negeri. Impor produk manufaktur yang tak terkendali justru menekan produktivitas pabrik-pabrik lokal, seperti yang dialami oleh PT Sritex dan PT Sepatu Bata, serta sejumlah perusahaan lainnya yang terpaksa berhenti berproduksi akibat kebijakan ini,” ujar Bambang Soesatyo, Selasa, (19/11), di Jakarta.
Sebagai Ketua MPR RI ke-15 dan mantan Ketua DPR RI ke-20, Bambang Soesatyo juga mengkritisi rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025. Ia menilai kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat, sehingga malah berisiko melemahkan target penerimaan negara dari sektor pajak.
“Dengan menaikkan PPN menjadi 12 persen, harga barang dan jasa pasti melonjak. Padahal, daya beli masyarakat cenderung melemah belakangan ini. Akibatnya, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penggerak ekonomi nasional akan terkena dampaknya, memicu pelemahan sumbangan konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi,” ungkap Bamsoet.
Bambang, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar, memaparkan bahwa hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024 mencatat jumlah angkatan kerja mencapai 149,38 juta. Namun, sebagian dari mereka kini menganggur akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di sektor manufaktur.
“Sektor manufaktur, yang sebelumnya menyerap 18,82 juta tenaga kerja, saat ini menghadapi krisis serius. Banyak pabrik yang berhenti beroperasi, menyebabkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan,” tutup Bambang Soesatyo dengan penuh keprihatinan.