Kabar Ngetren/Jakarta – Bertempat di Fairmont Hotel, Jakarta, Senin, (5/8), Wakil Jaksa Agung Feri Wibisono menyampaikan Keynote Speech Jaksa Agung ST Burhanuddin pada acara Focus Group Discussion bertajuk “Konstruksi Pemidanaan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara”. Acara ini diselenggarakan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung.
Jaksa Agung menegaskan bahwa tema kegiatan ini selaras dengan semangat Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Ia menjelaskan bahwa perekonomian negara mencakup aspek yang lebih luas daripada keuangan negara, mencakup juga kerugian yang diakibatkan oleh berbagai jenis tindak pidana seperti korupsi, penipuan keuangan, pencucian uang, perbankan, penyelundupan dan perdagangan narkotika, perdagangan ilegal, dan penggelapan pajak.
“Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana yang merugikan perekonomian negara dapat mengakibatkan efek merusak yang sangat luas,” ujar Jaksa Agung.
Ia menambahkan bahwa efek tersebut termasuk hilangnya dana publik, penurunan kepercayaan investor, penurunan pendapatan fiskal, dan ketidakstabilan ekonomi yang berdampak pada perekonomian Indonesia.
Jaksa Agung menuturkan bahwa Kejaksaan telah menangani beberapa kasus korupsi yang merugikan perekonomian negara, seperti importasi tekstil, importasi baja, dan korupsi Crude Palm Oil (CPO). Fokus utama Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana ini adalah menyelamatkan dan memulihkan kerugian yang telah terjadi.
Ia juga mengungkapkan bahwa Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, yang menekankan kerja sama internasional dalam pelacakan, penyitaan, pembekuan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang disimpan di luar negeri.
“Kejaksaan patut bersyukur atas lahirnya Badan Pemulihan Aset sebagai bagian dari Kejaksaan, karena dapat membantu dalam merestorasi dampak merusak akibat kerugian keuangan negara dan perekonomian negara,” tambahnya.
Jaksa Agung juga menekankan bahwa paradigma Kejaksaan dalam penanganan korupsi telah bergeser dari follow the suspect menjadi follow the money and follow the asset. Ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemulihan dan pengembalian aset serta kerugian negara.
Untuk optimalisasi pemulihan kerugian perekonomian negara, salah satu yang diterapkan adalah asas pencemar membayar dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, ia mengakui bahwa instrumen pemulihan kerugian seperti Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2014 belum mampu mengembalikan kerugian keuangan negara secara maksimal.
Jaksa Agung mencatat tiga hambatan utama dalam pemulihan kerugian negara: pergeseran klasifikasi delik tindak pidana korupsi, penyembunyian aset hasil korupsi, dan perbedaan hukuman penjara yang dianggap terlalu ringan. Menjelang pemberlakuan KUHP Nasional pada 2 Januari 2026, Jaksa Agung menyoroti pentingnya persiapan terhadap ketentuan baru, termasuk instrumen pemulihan kerugian perekonomian negara melalui pembayaran ganti kerugian.
“Terobosan atas pemidanaan yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara merupakan perwujudan dan komitmen negara dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan negara,” tutur Jaksa Agung.
Ia menegaskan bahwa pelaku kejahatan yang terbukti merugikan perekonomian negara harus dibebankan kewajiban untuk memulihkan kerugian tersebut, melalui perampasan aset yang telah disebabkan.
Dengan optimisme, Jaksa Agung menutup pidatonya dengan harapan bahwa pembebanan kepada pelaku tindak pidana berupa perampasan aset menjadi kenyataan dan bukan sekadar angan-angan.
“Ini harus menjadi suatu keniscayaan,” pungkasnya.