Kabar Ngetren/Bogor – Keprihatinan mendalam melanda pemerhati permasalahan masyarakat di Puncak Bogor terkait maraknya pembangunan vila mewah serta penginapan atau wisma yang berdiri di atas tanah garapan milik negara. Hal ini disampaikan oleh Prof DR KH Sutan Nasoma, SH., MH., kepada media. Senin, (1/7).
Di wilayah Kecamatan Cisarua, termasuk desa-desa seperti Citeko, Cidokom 5, Desa Kopo, Desa Kuta Jaya, Pakancilan, Barusireum, Joglo, Cipendawa, Cikoneng, Hulu Ciliwung, Sampai Amper, dan Ciburial Atas, banyak bangunan mewah yang berdiri liar di atas tanah garapan yang dahulu merupakan kebun teh.
“Situasi ini terjadi karena diduga banyak pihak yang bermain, baik oknum desa maupun oknum kecamatan, sehingga mereka seperti kebal hukum,” ungkap Sutan Nasomal.
Selama 30 tahun terakhir, tidak ada satu pun oknum pejabat desa atau kecamatan di Cisarua yang diproses hukum terkait dengan banyaknya bangunan liar di atas tanah garapan milik negara. Para pemilik bangunan tersebut tidak memiliki IMB atau sertifikat tanah HGB, namun bisa bebas membangun karena diduga ada permainan oknum.
Prof Sutan Nasomal juga mengajak Presiden RI dan Menteri terkait untuk turun langsung ke lapangan bersama para pengawas. Menurut data Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor melalui UPT Pengawasan Bangunan wilayah 2 Ciawi, tercatat lebih dari 500 bangunan berdiri di atas lahan garapan di kawasan Puncak Bogor Kecamatan Cisarua. Menteri harus melihat langsung agar tidak selalu menerima laporan ABS (asal bapak senang) dari pihak-pihak yang diduga bermain.
Bangunan vila atau perusahaan mewah di atas tanah garapan yang dahulu murni milik perkebunan teh kini menjadi ladang basah untuk investasi. Bebas diperjualbelikan atau dikomersilkan.
“Peraturan yang melarang berdirinya bangunan vila mewah atau perusahaan di atas tanah garapan di Puncak Bogor seakan menghilang, yang merupakan bukti lemahnya pengawasan dan penertiban. Apalagi bangunan tersebut tidak memiliki IMB tetapi dibiarkan membangun dan merusak fungsi hutan atau perkebunan teh,” lanjut Prof Sutan Nasomal.
Wilayah yang seharusnya dipertahankan sebagai hutan atau wilayah resapan air banyak berganti fungsi. Prof Sutan Nasomal menghimbau para penegak peraturan untuk tidak pilih kasih dan bermain mata.
“Masyarakat kecil lapaknya dirubuhkan di sepanjang pinggir jalan Gunung Mas, tetapi vila mewah dan perusahaan dibiarkan berdiri di atas tanah garapan, mengambil tanah garapan milik negara dan beralih fungsi untuk diperjualbelikan,” tegasnya.