Kabar Ngetren/Jakarta – Baru-baru ini publik digegerkan dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia ( RUU TNI ). Dari draft yang diajukan Markas Besar TNI ke Badan Legislatif DPR RI. Mencuat satu pasal, yang banyak diperbincangan akhir-akhir ini.
Salah satu pasal tersebut ialah Pasal 47 Ayat 2 UU TNI disebutkan bahwa prajurit aktif TNI bisa menduduki jabatan di sepuluh kementerian dan lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Sementara dalam usulan revisi, prajurit aktif TNI bisa duduk di 18 kementerian/lembaga. Tambahan delapan kementerian/lembaga itu adalah Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Selain itu, dalam usulan revisi, prajurit TNI juga dapat menduduki jabatan di kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.
Salah satu Pengamat militer dan pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai revisi pada Pasal 47 Ayat 2 UU TNI itu bertentangan dengan amanat reformasi. Menurutnya, klausul baru yang membolehkan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga lain yang membutuhkan sesuai kebijakan presiden merupakan aturan yang karet.
“Itu adalah klausul karet. Sesuatu yang memang sangat dihindari dan bertolak belakang dengan semangat UU 34/2004. Saya yakin akan muncul polemik,” kata Fahmi.
Fahmi juga berpendapat klausul itu membuka peluang masuknya prajurit aktif ke kementerian/lembaga yang urusannya tidak berkaitan atau beririsan langsung dengan tugas dan fungsi TNI.
Selain kekhawatiran yang ditunjukan oleh pengamat Militer, masyarakat Indonesiapun khawatir akan kembalinya Dwifungsi ABRI. Itu terlihat dari beragam komentar di sosial media terkait issue ini, bahkan tak sedikit mengambil satu contoh konflik bersenjata di Myanmar.
Tentunya, masyarakat Indonesia tidak mau hal itu terjadi. Ditengah saat ini, masyarakat juga sedang menyoroti kinerja lembaga hukum lainnya yakni aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian yang juga sedikit demi sedikit masuk politik. Dan dianggap mengurangi kinerja dari Kepolisian. (Maulana Yusuf)