Kabar Ngetren/Jakarta – Mengelola Kebijakan dengan Bijaksana: Menjaga Konsumsi Rumah Tangga sebagai Pondasi Pertumbuhan Ekonom
Sebuah keputusan atau peraturan dapat menjadi tidak bijaksana jika justru merusak dan menghancurkan sistem atau sub-sistem yang ada. Oleh karena itu, setiap keputusan baru harus didasarkan pada kalkulasi matang dan kajian komprehensif.
Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, keputusan yang dapat merusak mesin pertumbuhan ekonomi harus dihindari.
Pasca pandemi Covid-19, konsumsi dalam negeri, khususnya konsumsi rumah tangga, telah menjadi pondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga, sebagai faktor dengan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan ekonomi, terus menunjukkan kekuatan hingga kuartal pertama 2024.
Pertumbuhan ekonomi nasional yang kuat di tengah melemahnya ekonomi sejumlah negara menunjukkan pentingnya konsumsi rumah tangga dalam perekonomian kita.
Untuk menjaga agar ekonomi nasional terus bertumbuh, pondasi atau faktor pendorong pertumbuhan ekonomi harus dikelola dengan kebijaksanaan.
Selain investasi dan ekspor, konsumsi dalam negeri, khususnya konsumsi rumah tangga, perlu terus diperkuat. Daya beli masyarakat yang kuat mencerminkan kesejahteraan mereka dan merupakan indikator penting pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Namun, apa yang terjadi jika sebuah keputusan atau peraturan justru melemahkan konsumsi rumah tangga? Keputusan semacam itu tidak bijaksana dan berpotensi merusak kebaikan bersama. Konsekuensinya adalah pertumbuhan ekonomi yang melemah, bahkan bisa tumbuh negatif akibat melemahnya konsumsi rumah tangga.
Laporan resmi Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Mei 2024 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2024 mencapai 5,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Pertumbuhan ini didukung oleh konsumsi rumah tangga yang kuat, yang juga diperkuat oleh belanja pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilu 2024.
Berpijak pada laporan tersebut, penting bagi semua pihak untuk menjaga daya beli masyarakat agar kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
Ini adalah strategi kebijakan yang paling masuk akal di tengah ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah pun tampaknya mempertimbangkan hal ini dengan tidak menaikkan harga BBM bersubsidi meski harga minyak dunia naik.
Namun, ada kontradiksi kebijakan yang terlihat. Di satu sisi, harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan demi menjaga daya beli masyarakat, tetapi di sisi lain ada kebijakan yang mewajibkan rumah tangga menyisihkan pendapatannya untuk hal-hal yang belum tentu menjadi prioritas. Ini bisa melemahkan daya beli keluarga.
Perekonomian nasional juga dipengaruhi oleh faktor luar negeri, seperti kenaikan harga minyak mentah dan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Dua faktor ini menyebabkan tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama untuk impor minyak dan pembayaran utang luar negeri. Jika APBN tidak dapat lagi menolerir subsidi BBM, harga eceran BBM akan naik, yang berdampak langsung pada pengeluaran masyarakat dan biaya produksi.
Dampak kenaikan harga BBM akan terasa luas, dari mahalnya biaya transportasi hingga naiknya harga barang dan jasa. Jika kenaikan harga ini tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan, daya beli masyarakat akan melemah, mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, untuk memprioritaskan pertumbuhan ekonomi nasional, kita harus terus merawat dan memperkuat konsumsi rumah tangga. Jangan paksakan rumah tangga menyisihkan pendapatannya untuk hal-hal yang belum jelas. Biarkan setiap keluarga menetapkan prioritas mereka sendiri. Intervensi yang terlalu jauh dalam hal ini hanya akan merugikan pertumbuhan ekonomi kita.
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya, dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)