Masykurudin Hafidz, Inisiator Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD) |
Opini – Tingkat partisipasi paling tinggi dalam setiap pemilihan umum adalah menentukan pilihan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Prinsip satu pemilih satu suara satu nilai (one person, one vote, one value) dipastikan dengan pemutakhiran daftar pemilih yang sangat panjang. Selama lima belas bulan dari Desember 2022 hingga pemungutan suara 14 Februari 2024 nanti.
Tidak ada tahapan yang lebih panjang dari tahapan pemutakhiran daftar pemilih. Waktunya hampir menyamai tahapan pemilu itu sendiri. Demi mewujudkan setiap orang yang memenuhi syarat dipastikan didaftar dan yang tidak memenuhi syarat dipastikan tidak didaftar.
Setiap pemilih didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih. Selain terdaftar satu kali, pemilih adalah warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara genap berumur 17 tahun, sudah kawin atau sudah pernah kawin, tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak pilih dan bukan anggota TNI atau Polri.
Dalam memastikan daftar pemilih yang akurat, undang-undang pemilu mengatur secara lengkap. Data kependudukan disinkronisasi dengan data pemilu terakhir secara berkelanjutan untuk disusun menjadi daftar potensial pemilih.
Daftar potensial ini diverifikasi secara administrasi lantas diteliti dan dicocokkan secara faktual, Hasilnya disusun dalam bentuk Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk diumumkan dan diberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan masukan. Masukan semua pihak ditambahkan lalu menjadi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP). Setelah itu ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Proses penyusun daftar pemilih dari awal hingga DPT berjalan selama enam bulan yakni dari awal Januari hingga Juni 2023. Sementara pemungutan suara dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Itu artinya ada jeda waktu yang cukup panjang dari Juli 2023 hingga Februari 2024 atau delapan bulan. Dalam masa delapan bulan tersebut, terdapat pemilih yang memenuhi syarat. Adanya perubahan informasi kependudukan dan pergerakan pemilih dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Dalam hal pemilih yang akhirnya memenuhi syarat diantaranya adalah pemilih dalam masa delapan bulan tersebut memiliki KTP-el dan pemilih baru.
Undang-undang mengantisipasi kelompok ini dengan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dimana yang bersangkutan akan didaftar di TPS dan dapat melaksanakan pemungutan suara dengan syarat memilih mulai pukul 12.00 waktu setempat, memilih berapa di lingkungan PPS dan sepanjang surat suara masih ada.
Sementara dalam mengantisipasi pergerakan penduduk, undang-undang Pemilu telah memberikan mekanisme pindah memilih.
Apabila setelah ditetapkan dalam DPT, pemilih tersebut melakukan perpindahan yang berdampak pada perubahan tempat memilih maka menggunakan mekanisme Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
Selain wajib mengurus surat pindah memilih, pemilih juga memiliki konsekuensi dari perpindahannya yaitu terkurangi surat suara yang diterimanya. Mendapatkan 5 surat suara jika memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota di dapilnya, mendapatkan 4 surat apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di dapilnya, mendapatkan 3 surat suara apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi di dapilnya, mendapatkan 2 surat suara apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu probinsi dan di dapilnya serta hanya mendapatkan 1 surat suara apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suara negara. Untuk pemilih Jakarta hanya diberikan 4 surat suara yaitu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD Provinsi dengan pemberlakukan pindah memilih tanpa menyertakan ketentuan DPRD Kabupaten/Kota.
KPU memberikan waktu untuk melaporkan pindah memilih hingga 15 Januari 2024 untuk pemilih disabilitas dalam perawatan, menjalani rehabilitasi narkoba, menempuh Pendidikan, pindah domisili maupun bekerja di luar domisili.
Adapun mengurus pindah memilih dapat dilakukan hingga 7 Februari 2024 untuk pemilih yang menjalankan tugas pada saat pemungutan suara, menjalani rawat inap di rumah sakit atau puskesma dengan keluarga yang mendampingi, menjadi tahanan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang sedang menjalani hukuman dan tertimpa bencana alam.
*Polemik Domisili*
Bagaimana jika terdapat pemilih yang terdaftar dalam DPT kemudian melakukan perpindahan domisili ke daerah lainnya dan sudah memiliki KTP-el di tempat domisili yang baru?
Dalam Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan umum dijelaskan _“apabila pemilih sudah pindah domisili dan sudah mendapatkan KTP-el pada domisili di tempat yang baru sehingga penduduk tersebut tidak lagi tercatat sebagai penduduk daerah asal dan tercatat penduduk daerah tujuan, maka penduduk tersebut jika mengurus pindah memilih dengan alasan pindah domisili dapat menjadi pemilih DPTb dan berhak mendapatkan lima jenis surat suara kecuali di provinsi Jakarta yang mendapatkan empat surat suara”._
Berdasarkan waktu diperbolehkannya mengurus pindah memilih hanya sampai 15 Januari 2024, maka pemilih DPT yang melakukan pindah domisili setelah batas laporan pindah milih berpotensi kehilangan hak pilihnya.
Memilih di tempat baru dilarang karena tidak mengurus DPTb sementara memilih di tempat lama potensial ditolak karena KTP tidak sesuai dengan data di DPT.
Terdapat usulan bagaimana jika dimasukkan dalam DPK? Jika pemilih DPT tersebut dimasukkan dalam DPK maka melanggar ketentuan undang-undang yang menyatakan setiap pemilih wajib terdaftar satu kali.
Dan jika setiap orang yang pindah domisili dimasukkan dalam kategori DPK dengan mendapat lima surat suara maka berpotensi menimbulkan mobilisasi pemilih ke daerah tertentu dengan menggunakan mekanisme perpindahan domisili.
*Menjaga Kemurnian Hak Pilih*
Berdasarkan tata kelola pemenuhan hak pilih, pada dasarnya kategori pemilih ada tiga yaitu DPT, DPTb dan DPK. Setelah KPU memberlakukan ketentuan pindah domisili muncul kategori baru yaitu DPTb rasa DPK (pindah memilih tetapi tetap mendapatkan lima surat suara).
Adanya pemilih yang terancam tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat domisili karena mengurus pindah memilih sudah ditutup, berpotensi adanya pelanggaran pidana yaitu sengaja menghilangkan hak pilih seseorang yang jelas-jelas terdaftar dan memenuhi syarat sebagai pemilih.
Oleh karena itu, dalam menjamin hak pilih siapapun yang sudah terdaftar di DPT, sudah pindah domisili dan tidak mengurus pindah memilih maka KPU menggunakan Sidalih untuk mengurai polemik pindah memilih ini.
Tindakan awal yang dilakukan adalah KPU berkoordinasi dengan Ditjen Dukcapil dan Bawaslu untuk mendapatkan informasi seberapa banyak dan dimana saja pemilih yang telah melakukan pindah domisili setelah DPT ditetapkan.
Setelah informasi tersebut didapatkan, KPU menempatkan pemilih terutama yang tidak mengurus pindah memilih dari 15 Januari 2024 sebagai pemilih DPTb sebagaimana yang diatur dalam petunjuk teknis KPU.
Penandaan pemilih DPTb ini dilakukan di Sidalih. KPU kemudian memberikan informasi kepada pemilih pindah domisili melalui jajarannya hingga KPPS dan memastikannya kembali di Sidalih.
Selain itu, KPU, Bawaslu dan Kemendagri perlu mengeluarkan kebijakan bahwa layanan pindah domisili sementara ditutup hingga hari pemungutan dan penghitungan suara.
Penutupan layanan ini semata-mata untuk membatasi potensi jumlah pemilih yang pindah pilih karena untuk memenangkan calon tertentu atau karena dimobilisasi oleh pihak tertentu.
Apabila metode ini diberlakukan, maka usaha untuk menjamin hak pilih seseorang dan menghindari mobilisasi pemilih di hari pemungutan dan penghitungan suara, semakin bisa kita wujudkan.
Kabar Ngetren