Kabar Ngetren/Jakarta – Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keberagaman, mulai dari suku, budaya, hingga agama. Namun, keberagaman ini juga menuntut upaya kolektif untuk menjaga harmoni sosial. Salah satu langkah strategis yang harus diambil adalah menguatkan moderasi beragama, khususnya melalui peran perguruan tinggi umum (PTU) dan masyarakat.
Moderasi beragama berarti menjalankan ajaran agama tanpa sikap ekstrem, baik dalam bentuk radikalisme maupun liberalisme berlebihan. Prinsip ini menekankan toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan keterbukaan terhadap dialog antar-keyakinan.
Dalam konteks pendidikan, perguruan tinggi menjadi ujung tombak untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga inklusif dalam memahami keberagaman.
Kegiatan Penguatan Moderasi Beragama 2024
Sebagai bentuk dukungan terhadap penguatan nilai moderasi beragama, Subdit PTU PAI Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Persatuan Dosen Agama Nahdlatul Ulama Nusantara (PERSADA) menyelenggarakan Workshop Penguatan Moderasi Beragama 2024. Acara ini berlangsung di Swiss Bellin Manyar, Surabaya, pada Senin hingga Rabu, (2-4/12).
Acara ini menghadirkan 110 peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan diisi oleh narasumber seperti: Dr. M. Munir, M.Ag. (Direktur PAI), Dr. Khaerul Umam, M.Ag. (Kasubdit PAI pada PTU Dit. PAI), Prof. Dr. Supian Ramli (Dewan Pakar PERSADA), Prof. Dr. Yusuf Hanafi.
Menurut Prof. Supian Ramli, acara ini bertujuan untuk membangun jejaring literasi beragama, meningkatkan keterampilan dosen PAI, serta mendorong publikasi ilmiah di jurnal internasional seperti Scopus.
Sementara itu, Dr. Yusuf Hanafi menekankan bahwa moderasi beragama menjadi isu strategis dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2023. Hal ini menjadikan moderasi beragama sebagai tanggung jawab bersama, baik di tingkat kementerian, lembaga, maupun masyarakat.
Dr. Khaerul Umam menyoroti tantangan moderasi beragama di era digital, di mana banyak paham eksklusif yang berkembang melalui media sosial. Sikap eksklusif ini tidak hanya mengancam harmoni sosial, tetapi juga dapat merusak persatuan bangsa.
“Mahasiswa dan dosen memiliki tanggung jawab besar untuk mengedukasi masyarakat tentang cara beragama yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman,” ujar Khaerul.
Kolaborasi untuk Masa Depan Bangsa
Ketua PERSADA, Hatim Ghazali, menegaskan pentingnya kolaborasi antar-dosen untuk menginspirasi mahasiswa.
“Keterampilan kolaborasi adalah kebutuhan utama di abad ke-21,” kata Hatim.
Moderasi beragama bukan hanya kebutuhan, tetapi juga kewajiban dalam membangun generasi emas yang berwawasan kebangsaan. Dengan pendidikan yang inklusif dan harmoni sosial yang terjaga, cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.