Kabar Ngetren – Saya sangat mengagumi puisi Anto Narasoma berjudul “Memintal Kehidupan”. Bahasanya sederhana namun lugas, berhasil menggambarkan suasana batin antara dua tokoh utama: Sang Nenek dan Cucu.
Baru awal Januari 2025 saya mengenal puisi ini melalui media sosial. Namun, saya yakin pengalaman dan perjalanan Anto dalam dunia puisi sudah panjang dan mendalam.
Sayangnya, keterbatasan publikasi dan komunikasi membuat karya sastra serta penyair Indonesia kurang dikenal, baik di dalam negeri maupun di panggung internasional. Bahkan, penyair Indonesia hampir tak pernah masuk radar panitia Nobel Sastra.
Narasi dalam puisi Anto Narasoma seperti lukisan realis—tidak terlalu abstrak. Nilai spiritual yang diusung begitu jelas, sehingga pesan moral yang ingin disampaikan mudah ditangkap.
Gaya penulisannya yang bersahaja dapat menjadi model bagi penyair lain yang masih mencari bentuk dalam proses kreatif mereka.
Hal ini mengingatkan saya pada genre puisi esai yang digagas oleh Denny JA, yang berhasil memberikan warna baru dalam dunia sastra di Indonesia.
Pesan moral puisi ini tersirat dalam dialog Sang Nenek kepada Sang Cucu:
“Sudah Nenek pintal karakter kehidupan yang mewarnai lukisan kau dan aku.”
Pesan ini dikuatkan dengan baris:
“Begitu luas kanvas ini, setelah benang-benang putih itu kurajut agar warna kainnya membersihkan kata hatimu.”
Kanvas tak terbatas itu menggambarkan luasnya wilayah moral, sementara benang putih melambangkan kesucian hati yang harus dijaga, tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga perbuatan nyata yang dapat dirasakan banyak orang.
Anto Narasoma juga menunjukkan wawasan luasnya tentang filsafat dan seni lukis. Hal ini terlihat dari ungkapannya:
“Fakta lukisan yang terukur selama filosofi itu menjadi mimpi kita katanya, maka kau dan aku dibatasi ide pelukis yang menjadi kekayaan berlimpah di dalam warna kehidupan kita.”
Pada bagian lain, Anto menciptakan makna mendalam tentang cuaca batin:
“Cobalah kau raba cuaca pertemuan klasik yang melingkari pandangan jiwamu lewat alunan perkusi gendang telingamu.”
Ungkapan ini sarat dengan makna spiritual yang menyentuh kejiwaan. Suasana dan rasa yang dihadirkan melampaui kata-kata maupun lukisan nyata, menciptakan impresi sakral yang kaya nilai budaya dan filosofis.
Bagian penutup menggambarkan Sang Nenek yang menenun selendang putih di hati Sang Cucu, menyiratkan bahwa ayat-ayat sastra dapat menjadi puisi cinta yang mendalam dan bermakna.
Ungkapan ini menyempurnakan kesan bahwa karya Anto Narasoma adalah perpaduan seni, filsafat, dan spiritualitas yang harmonis.
Karya ini ditulis pada 12 Januari 2025, menjadikannya terasa gurih dan hangat, seperti empek-empek kapal selam atau martabak Tambi yang populer di Palembang—kota asal Anto Narasoma.
(Jacob Ereste)