Oleh: Jacob Ereste
Menulislah seperti air yang mengalir—membersihkan saluran sungai atau gorong-gorong dengan jujur dan ikhlas, mengikuti sunnatullah dari hulu ke hilir, hingga akhirnya bersilaturahmi dengan laut di muara. Di sana, air bertemu dengan segala makhluk penghuni laut yang beragam karakternya.
Begitulah kehidupan yang singkat. Penyair Chairil Anwar bahkan pernah “menggedor langit,” meminta dikirim usia seribu tahun lagi. Andai doanya terkabul, sudah berapa usia beliau sekarang?
Namun, ada masanya giliran generasi penyair lain seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Aspar Paturisi. Menulis, selain menjadi kebutuhan bawaan manusia, juga merupakan cara membaca isyarat bumi dan langit, seperti yang dikatakan Sri Eko Sriyanto Galgendu, seorang Pemimpin Spiritual Nusantara. Dalam budaya Nusantara, kemampuan ini sering disebut sebagai “bahasa tanah.”
Budaya membaca dan menulis lahir bersamaan dengan perjalanan hidup manusia. Dalam perspektif sejarah dan filsafat, perdebatan mengenai asal-usul manusia, apakah benar bermula dari Nabi Adam dan Sitti Hawa, terus berlangsung.
Namun, dalam ranah teologi, persoalan tersebut telah final.
Peran Seniman dan Penulis di Masa Kerajaan Nusantara
Pada masa kejayaan kerajaan dan kesultanan di Nusantara, sastrawan kraton, seniman penempa keris, dan pembuat diorama dihormati sebagai para empu dan pujangga.
Mereka mendapatkan fasilitas yang cukup untuk hidup layak. Berbeda dengan era republik, di mana para seniman, budayawan, dan sastrawan sering kali kurang mendapat penghargaan.
Kini, harapan mulai tertuju pada Menteri Kebudayaan di Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto. Harapannya adalah seni dan budaya, yang selama ini seperti anak tiri dalam pembangunan bangsa, dapat kembali mendapat tempat layak.
Refleksi Budaya dan Kehidupan Bangsa
Negara Kesatuan Republik Indonesia berasal dari berbagai kerajaan yang dahulu berdiri sendiri dengan ciri khas gemah ripah loh jinawi. Namun, tradisi agraris dan maritim yang menjadi ciri bangsa bahari kini terlihat mati suri.
Fenomena seperti pemagaran laut secara liar mencerminkan lemahnya pengelolaan dan keamanan laut Indonesia.
Ironisnya, bangsa yang dulu menjadi produsen rempah-rempah terbesar kini justru kesulitan mengakses komoditas seperti pala, cengkih, minyak kelapa, damar, dan kemenyan.
Pentingnya Kesaksian Penulis
Hanya melalui tulisan, sejarah dan kenyataan ini dapat terus dibaca dan direnungkan. Sayangnya, para penulis sering kali berjuang sendiri tanpa perhatian atau dukungan dari pemerintah.
Padahal, mereka memainkan peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat konstitusi.
Kesaksian yang dituliskan penulis mampu menjadi suara yang meneriakkan kebenaran demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, menulis adalah tanggung jawab etika dan moral yang dapat menjadi hikmah bagi diri sendiri maupun masyarakat.
Banten, 14 Januari 2025