Kabar Ngetren/Yogyakarta – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan kegiatan Uji Publik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKSPT). Acara ini bertujuan untuk menjadikan perguruan tinggi di Indonesia sebagai lingkungan yang kondusif, aman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Jum’at, (7/6).
Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan Satuan Tugas (Satgas), pendidik, dan tenaga kependidikan dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Beberapa PTN yang hadir antara lain Politeknik Negeri Madiun, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Universitas Siliwangi. Sementara itu, dari PTS hadir Universitas Veteran Jawa Timur, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dan Universitas Sunan Giri Surabaya.
Dalam kesempatan ini, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Mauliana Girsang, menjelaskan latar belakang terbentuknya PPKSPT. Ia mengungkapkan bahwa Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 telah diterbitkan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dari jenjang PAUD hingga menengah. Namun, perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan akhir juga memerlukan aturan perlindungan, sehingga lahirlah Permendikbudristek Nomor 31 Tahun 2021.
Namun demikian, Permendikbudristek Nomor 31 Tahun 2021 masih memiliki keterbatasan dalam lima aspek: bentuk kekerasan, lokasi kasus, mekanisme penanganan, satgas, dan pengelolaan data. Permendikbudristek Nomor 31 ini terbatas pada kekerasan seksual dan belum mengatur mekanisme penanganan kasus yang melibatkan lebih dari dua perguruan tinggi atau institusi lain, serta prosedur pembentukan satgas yang memerlukan proses panjang.
Selain itu, kedudukan satgas belum jelas, mekanisme rujukan penanganan kasus tidak terkait pelaksanaan Tridharma belum terperinci, dan pengelolaan data juga belum diatur dengan baik.
RPP PPKSPT ini mengatur berbagai jenis kekerasan termasuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Selain itu, RPP ini menyederhanakan mekanisme seleksi Satgas tanpa panitia seleksi, mempertegas hak dan kedudukan Satgas dalam struktur organisasi perguruan tinggi, dan mengatur mekanisme rujukan kasus kekerasan yang tidak terkait pelaksanaan Tridharma ke mekanisme etik atau disiplin pegawai. Pengelolaan data kekerasan juga akan diintegrasikan untuk mendukung perencanaan berbasis data program pencegahan dan penanganan kekerasan.
Chatarina menjelaskan bahwa alur penanganan kekerasan di PPKSPT akan dimulai dari penerimaan laporan, pemeriksaan pihak terkait, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, hingga tindak lanjut dan pemulihan korban. Pemulihan bagi korban meliputi tindakan medis, terapi fisik, psikologis, serta bimbingan sosial dan rohani.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan data pelapor. “Perlu diingat bahwa pemulihan dapat dilakukan tidak hanya bagi korban. Karena biasanya yang melapor belum tentu dari korban, dan data pelapor ini harus dijaga kerahasiaannya,” ujar Chatarina.
Sanksi administratif bagi pelaku akan dikenakan oleh Kemendikbudristek atau pimpinan perguruan tinggi, yang diklasifikasikan berdasarkan status (ASN, non-ASN, mahasiswa, atau warga kampus) dan tingkat keseriusan pelanggaran (ringan, sedang, berat). Sanksi berat termasuk pencabutan NUPTK bagi pelaku yang berstatus ASN.
Selain itu, korban dan/atau terlapor dapat mengajukan keberatan kepada Kemendikbudristek jika merasa keputusan sanksi tidak adil. “Apabila pengajuan keberatan berkaitan dengan laporan kebijakan yang mengandung kekerasan, Kemendikbudristek memerintahkan pembatalan untuk kebijakan yang terbukti mengandung kekerasan,” tambahnya.
Acara ini juga diisi dengan sesi diskusi antara peserta dengan Inspektur Jenderal, Staf Ahli Bidang Regulasi, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, dan Kepala Pusat Penguatan Karakter.