Scroll untuk baca artikel
BeritaHeadlineNewsTrending

Dirjen HAM Soroti Maraknya Kasus Perselingkuhan di Media Sosial

101
×

Dirjen HAM Soroti Maraknya Kasus Perselingkuhan di Media Sosial

Sebarkan artikel ini

Kabar Ngetren/Jakarta – Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra, menyoroti maraknya kasus perselingkuhan yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial. Dhahana mengingatkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru memberikan pengaturan lebih tegas mengenai kohabitasi dan perzinaan.

“Bagi pasangan yang belum menikah, perlu memahami bahwa di KUHP baru ini kohabitasi juga memiliki konsekuensi hukum,” terang Dhahana pada Jum’at, (26/7).

Dhahana menjelaskan bahwa kohabitasi, dalam KUHP yang baru, didefinisikan sebagai hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Ini mencakup pasangan yang tinggal bersama dan berperilaku seperti suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum. Sementara itu, perzinaan dalam KUHP baru, sama seperti KUHP lama, tetap dipandang sebagai tindak pidana.

Baca Juga  Sarasehan Jiwa Semangat 45: Menginspirasi Generasi Muda Purbalingga Menuju Indonesia Emas 2045

Merujuk pada Pasal 411 dalam KUHP yang baru, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan dikenai pidana perzinaan.

“Pasal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan norma kesusilaan dalam masyarakat,” jelas Dhahana.

Kendati demikian, Dhahana menerangkan bahwa baik kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Tindakan kohabitasi dan perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 411 dan Pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

“Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait, tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum,” imbuh Dhahana.

Lebih lanjut, Direktur Jenderal HAM membeberkan bahwa sejak awal pembahasan KUHP baru, topik terkait kohabitasi dan perzinaan memang memantik polemik di ruang publik.

“Ada pihak yang menuntut agar tindakan semacam itu diberikan hukuman karena tidak sesuai nilai-nilai sosial dan keagamaan. Di sisi lain, ada pihak yang menolak negara mengatur hal tersebut karena dipandang telah mencampuri urusan privat. KUHP berupaya mencari titik keseimbangan,” ungkapnya.

Pengaturan ini penting dalam konteks hak asasi manusia (HAM), karena negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat.

Setiap regulasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan pribadi sambil memastikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara. Hak dasar menurut UU 39 Tahun 1999 tentang HAM termasuk berhak membangun sebuah keluarga tanpa tekanan serta berhak memiliki keturunan lewat perkawinan yang sah.

Kendati masih ada diskursus mengenai topik ini dalam KUHP, Dhahana meyakini bahwa tim penyusun KUHP telah menimbang dengan matang dari berbagai perspektif dan keilmuan.

Dhahana menambahkan,bahwa pengaturan kohabitasi dan perzinaan dalam KUHP ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan norma sosial yang masih dipegang oleh masyarakat di tanah air.

“Kembali, kami mengimbau masyarakat untuk memahami aturan dengan baik sehingga dapat menghindari konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam KUHP baru ini,” pungkas Dhahana.

Follow Official WhatsApp Channel KN Official untuk mendapatkan artikel-artikel terkini, Klik Di sini.

Yuk! baca artikel menarik lainnya di Google News.